Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2)

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (2)

Cover buku tenggelamnya kapal van der wijck.--

Catatan:  Hendy UP *]

Pada mozaik ke-26 yang bertema "Surat Hayati yang Penghabisan" (hal 204), dituturkan bahwa pada 20 Oktober 1936, Zainuddin pulang dari Malang untuk tugas jurnalistiknya. Masuk ke rumahnya di sudut gang di Surabaya dengan wajah muram nan murung. Sungguh jiwanya sangat menyesali. 

Akan tetapi, dendam kesumat cintanya dan arogansi kelelakianya telah mampu membentengi dan meredam getaran sinyal ketulusan jiwa yg sesungguhnya, kepada Hayati.

Kemarin pagi, di rumah ini, dengan tegas nan ketus setengah mengusir Hayati yg memasrahkan cintanya dengan bahasa yang dalam, dari jiwa yang bertimbun luka nan ringkih terkoyak adat kampungnya; dari kegagalan perkawinannya dengan Azis atas pilihan tradisi lingkungannya, ninik-mamaknya.

BACA JUGA:Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1)

Dan pagi ini, di kamarnya, Zainuddin menerima surat panjang terakhir Hayati, berangkai 20 paragraf, yang dititipkan kepada sahabat setianya Muluk. Maka dibacalah dengan perasaan nan gusar lagi bergetar:

"Pergantungan jiwaku, Zainuddin! Kemana lagi langit tempatku bernaung, setelah engkau hilang dari padaku Zainuddin. Apakah artinya hidup ini bagiku, kalau engkau pun telah memupus namaku dari hatimu!

Sungguh besar sekali harapanku hendak hidup di dekatmu, akan berkhidmat kepadamu dengan segenap daya dan upaya, supaya mimpi yang telah engkau rekatkan sekian lamanya bisa makbul. Supaya dspat segala kesalahan yang besar-besar yang telah kuperbuat terhadap dirimu saya tebusi.

Tetapi cita-citaku itu tinggal selamanya menjadi cita-cita, karena engkau sendiri yang menutupkan pintu di hadapanku: saya kau larang masuk, sebab engkau hendak mencurahkan segala dendam kesakitan yang telah sekian lama bersarang dalam hatimu, yang selalu menghambat-hambat perasaan cinta yang suci.

BACA JUGA:Sejarah & Dinamika Desa Q Buminoto Musirawas (2)

Zainuddin! Apakah artinya harta dan perbantuan itu bagiku, kalau bukan dirimu yang ada di dekatku? Saya turutkan permintaan itu, saya akan pulang. Tetapi percayalah Zainuddin bahwa saya pulang ke kampungku, hanya dua yang kunantikan. Pertama kedatanganmu kembali, menurut janjiku yang bermula, yaitu akan menunggumu, biar berbilang tahun, biar berganti musim. Dan yg kedua, ialah menunggu maut, biar saya mati dengan meratapi keberuntungan yang hanya bergantung di awang2 itu.

"  .......... "

Selamat tinggal Zainuddin! Selamat tinggal, wahai orang yang kucintai di dunia ini. Seketika saya meninggalkan rumahmu, hanya namamu yang tetap jadi sebutanku. Dan agaknya kelak, engkaulah yang akan terpatri dalam do'aku, bila saya menghadap Tuhan di akhirat.....

Mana tahu, umur di dalam tangan Allah! Jika saya mati dahulu, dan masih sempat engkau ziarah ke tanah pusaraku, bacakanlah doa di atasnya, tanamkan di sana daun puding panca warna dari bekas tanganmu sendiri, untuk jadi tanda bahwa di sanalah terkuburnya seorang perempuan muda, yang hidupnya penuh dengan penderitaan dan kedukaan, dan matinya diremuk rindu dan dendam.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: