Scroll, Like, Comment: Cermin Darurat Etika Pada Gen Alpha
Dewi Yuliawati --
Oleh: Dewi Yuliawati *)
Di ruang Keluarga, seorang anak berusia lima tahun duduk tenang dengan tablet di tangannya. Jarinya lincah menggeser layar, sesekali tertawa melihat video pendek, lalu memberikan like tanpa ragu.
Ibunya sibuk dengan ponselnya sendiri. Pemandangan ini bukan lagi anomali—ini potret keseharian Generasi Alpha, anak-anak yang lahir antara 2010 hingga 2025.
Generasi Alpha adalah yang pertama tumbuh sepenuhnya dalam ekosistem digital. Mereka tidak mengenal dunia tanpa smartphone, media sosial, atau algoritma yang mengatur apa yang mereka tonton.
BACA JUGA:AI dalam Memengaruhi Perkembangan Kognitif Kita
Sementara teknologi membuka akses informasi tak terbatas, ada pertanyaan mendesak yang jarang dibicarakan: siapa yang mengajarkan mereka etika di ruang digital?
Ketika scroll, like, dan comment menjadi refleks sehari-hari, kita sedang menyaksikan darurat etika yang membutuhkan perhatian segera.
Digital Native, Tapi Bukan Digital Wise
Generasi Alpha memang mahir teknologi sejak dini, namun kepandaian teknis tidak otomatis menghadirkan kebijaksanaan digital.
Mereka bisa mengoperasikan aplikasi kompleks di usia balita, tapi tidak memahami konsep privasi, jejak digital, atau konsekuensi jangka panjang dari aktivitas online mereka.
Kasus nyata sering muncul: anak-anak mengunggah foto keluarga tanpa izin, membagikan informasi pribadi ke orang asing, atau mengklik tautan berbahaya karena tergiur hadiah.
Lebih memprihatinkan, mereka menyerap nilai-nilai dari konten viral tanpa filter kritis. Ketika challenge berbahaya atau prank menyakiti orang lain menjadi trending, mereka menganggapnya normal dan layak ditiru.
Algoritma yang memprioritaskan engagement, bukan edukasi, semakin memperburuk situasi.
BACA JUGA:Revitalisasi Semangat Kebangsaan di Era Media Sosial
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
