Hardiknas di Persimpangan Jalan: Mencari Pendidikan Indonesia yang Adil, Berkualitas dan Berkelanjutan
Niken Novellia--
Oleh: Niken Novellia *)
Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei memang momentum refleksi nasional, mengingatkan kita pada amanah Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Opini yang kita bahas ini tepat menyoroti persimpangan jalan pendidikan kita: dari Sekolah Rakyat yang berisiko diskriminatif hingga Kurikulum Deep Learning yang menjanjikan tapi belum lengkap.
Saya setuju sepenuhnya bahwa tantangan kita bukan hanya struktural, tapi juga ideologis—terutama bagaimana mengaktualisasikan pendidikan yang adil, berkualitas, dan berkelanjutan.
BACA JUGA:Media Sosial dan Krisis Etika Generasi Muda
Niat Baik yang Berpotensi Memperlemah Kesetaraan
Kebijakan Sekolah Rakyat memang mulia, tapi seperti ditegaskan opini ini dengan teori Bowles & Gintis serta Paulo Freire, ia berisiko menciptakan segregasi sosial.
Alih-alih membangun sekolah terpisah, solusi terbaik adalah memperkuat inklusi di sekolah negeri berkualitas melalui kolaborasi Kementerian Sosial dan Kemendikbudristek.
Bayangkan, biaya ditanggung negara penuh, tanpa diskriminasi, sehingga anak miskin belajar berdampingan dengan yang lain—membangun empati sejak dini.
BACA JUGA:Donasi Rakyat atau Tagihan Negara?
Ini selaras dengan prinsip Muhammadiyah dalam pendidikan "merdeka" yang menekankan akses universal tanpa batas ekonomi, seperti sekolah-sekolahnya yang terintegrasi di masyarakat.
Janji Abad 21 yang Perlu Fondasi Kuat
Kurikulum baru dengan Pemahaman Mendalam, Mindful Learning, dan Joyful Learning memang inovatif, terinspirasi konstruktivisme Vygotsky dan neuro-edukasi.
Namun, opini ini benar menyoroti kelalaian rote learning sebagai fondasi memori (Anderson, 1980). Tanpa penguasaan fakta dasar, HOTS hanya akan jadi slogan kosong.
BACA JUGA:Generasi Z dan Gelombang Bullying: Krisis Karakter Warga Negara Muda
Saya tambahkan: integrasikan elemen tarbiyah Islam Muhammadiyah, di mana hafalan Al-Qur'an dikombinasikan dengan pemahaman kontekstual, menciptakan sintesis sempurna antara hafalan otomatis dan berpikir kritis. Ini akan lahirkan generasi yang tidak hanya "senang belajar", tapi juga kaya ilmu dan akhlak.
Butuh GBHPN sebagai Konstitusi Pendidikan
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
