Dunia Pendidikan di Pusaran Korupsi

Dunia Pendidikan di Pusaran Korupsi

Abdusy Syakir--

Dunia perguruan tinggi dengan segala dialektikanya adalah miniatur tatanan masyarakat yang ideal, yang menjadi contoh bagi kalangan masyarakat lainnya, juga sebagai kawah candradimuka terciptanya gerakan moral (moral force) tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan besar dan cemerlang serta munculnya sosok intelektual yang mumpuni, berkarakter dan berintegritas.

Sebagai ilmuwan dengan kapasitas intelektual dan kepeduliannya yang tinggi memiliki potensi besar untuk ikut terlibat aktif dalam mengatasi dan memecahkan berbagai persoalan dunia dimasa depan.

Perguruan tinggi juga tercatat dalam sejarah dibeberapa belahan dunia menjadi aktor utama bagi Gerakan revolusi dan pembaharuan atas tirani dan tumbangnya suatu rezim dengan didukung oleh berbagai kekuatan elemen masyarakat baik sipil ataupun militer.

Apakah semua itu cukup ? tentu tidak, ada hal yang urgen dan sangat substansi yang tidak dimiliki di kalangan masyarakat lain yakni Kebebasan Akademik (dimaknai pula penggelolaan manajemen perguruan tinggi secara utuh), inilah yang menjadi landasan moral bagi para ilmuwan sebagai kaum intelektual dan dasar untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya hingga dapat ditularkan kepada peserta didik dan kalangan civitas akademik lainnya.

Lantas bagaimana realitasnya hari ini ? setidaknya kehendak itu tak sepenuhnya terwujud, potret hari ini kebebasan akademik  yang paling esensi tersebut tetap masih harus diperjuangkan, perguruan tinggi dapat setiap saat diintervensi negara dalam wujud apapun atas dalih ketergantungan anggaran pada pemerintah.

Padahal sejatinya itu adalah tanggungjawab dan kewajiban negara untuk memberikan hak Pendidikan bagi setiap warga negara secara konstitusi diatur jelas dan tegas, tafsirnya negara tidak boleh sedikitpun melakukan intervensi pada perguruan tinggi, pun sebaliknya civitas perguruan tinggi tidak harus menggadaikan idealisme, dan kebebasan akademiknya apalagi melacurkan diri dengan imbal balik berupa anggaran.

Status Rektor yang juga menyandang Guru Besar di perguruan tinggi merupakan puncak tertinggi sebagai wujud  pengakuan kalangan civitas akademik terhadap insan akademis, secara struktur birokrasi adalah top leader yang sepatutnya menjadi suri tauladan atau Ing Ngarso Sun Tulodo sebagaimana pesan KH. Dewantara namun drama OTT Rektor Unila, Karomani (RM), Heryandi (HY) Warek I, Muhammad Basri (MB), dan Andi Desfiandi (AD) 3 orang lainnya seakan membalikkan semuanya. Kebebasan akademik dalam bentuk otonomi seleksi penerimaan mahasiswa baru Universitas Lampung jalur mandiri atau Sistem Mandiri Masuk Unila (Simanula) tahun 2022 justru menjadi ajang untuk mendapatkan segepok cuan dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan yang dimiliki, jalur mandiri yang mestinya merupakan kebijakan affirmasi berdasarkan regulasi yang ada di perguruan tinggi menjadi bias makna pada tataran implementasi.

Ruang affirmasi seperti diungkapkan Wakil Ketua KPK Nurul Gufron (pada pres release penetapan status para tersangka) yang semestinya (harus dimaknai) milik calon mahasiswa berprestasi dan unggul, calon mahasiswa yang tak mampu namun bertekad untuk mengenyam dunia intelektual, calon mahasiswa yang berkebutuhan khusus terampas oleh ulah segelintir oknum demi kepentingan pribadi.

Tindakan tak terpuji dengan modus meminta imbalan sejumlah uang berkisar 100-350 juta/calon mahasiswa Universitas Lampung agar dapat diterima sebagai mahasiswa melalui jalur mandiri yang merupakan otoritas dan kewenangan penuh Rektor serta panitia penerimaan kemudian menjelma menjadi praktik koruptif yang muaranya akan menghasilkan mahasiswa instan yang menggunakan jalan pintas untuk mencapai tujuan.

Setidaknya dalam pemahaman dangkal penulis ini salah satu konsekuensi dari proses komersialisasi Pendidikan yang dipatikan hanya akan diperoleh bagi kalangan ber-uang tapi tidak bagi kaum miskin dan papa, judul buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” karya Eko Prasetyo setidaknya menggambarkan narasi-narasi yang terjadi didunia Pendidikan. Hal inipun menegasikan bahwa negara hendak “lari” dari tanggung jawab konstitusi untuk memberikan jaminan Pendidikan bagi warga negara. 

KESIMPULAN/PENUTUP

Pada bagian ini setidaknya perguruan tinggi dan Lembaga Pendidikan selayaknya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi bukan sebagai aktor, karena setidaknya ada 2 alasan penting melibatkan dalam pemberantasan korupsi, kesatu,

Lembaga Pendidikan memiliki sumberdaya dengan seperangkat pengetahuan (knowledge) yang memadai dan kedua, Lembaga Pendidikan memiliki jaringan (networking) yang kuat dan tersebar di seluruh penjuru tanah air sehingga Gerakan pemberantasan korupsi menjadi lebih massif dan terukur.

Proses hukum OTT Rektor Unila masih panjang dan tetap harus dihadapi, biarlah publik yang menilai dengan parameter moral apakah tindakan kaum terpelajar itu telah berkhianat, terpeleset, tertipu, khilaf, naif atau tidak paham dengan medan pergaulan sehingga salah dalam melangkah, sebagaimana pesan alm Buya Syafii Ma’arif tentu semua akan diuji di persidangan kelak.

Hikmah yang mesti dipetik dari peristiwa ini sejatinya seorang akademisi yang merupakan kaum intelektual hanya tunduk dan mengabdi pada nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan terbebas dari kepentingan pragmatis dalam mengemban Amanah yang diberikan padanya, mudah-mudah tak akan rusak susu sebelangga karena nilai setitik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: