Scroll, Like, Comment: Cermin Darurat Etika Pada Gen Alpha

Scroll, Like, Comment: Cermin Darurat Etika Pada Gen Alpha

Dewi Yuliawati --

Kita mengharapkan anak-anak ini menjadi bijak secara digital, padahal kita belum mengajari mereka. Ibarat membiarkan seseorang mengendarai mobil tanpa pernah mengajarkan aturan lalu lintas—kebebasan tanpa panduan hanya akan mengundang bahaya.

Like Sebagai Mata Uang Sosial Baru

Bagi Generasi Alpha, jumlah like bukan sekadar angka—itu adalah validasi eksistensi. Mereka belajar sejak dini bahwa untuk diterima, konten mereka harus disukai orang banyak. 

Harga diri mulai diukur dari metrik digital: berapa followers, berapa views, berapa komentar positif yang didapat.

BACA JUGA:Kades Demo Kemenkeu, Dana Desa: Alat Pemerataan Pembangunan, Bukan Pemicu Kegaduhan

Dampaknya nyata dan mengkhawatirkan. Anak-anak mulai mengalami kecemasan sosial ketika postingan mereka tidak mendapat respons yang diharapkan. 

Mereka membandingkan kehidupan mereka dengan highlight reel orang lain, merasa tidak cukup baik, tidak cukup menarik, tidak cukup sempurna. Body image issues yang dulu dialami remaja, kini muncul pada anak usia sekolah dasar.

Lebih parah lagi, mereka belajar performativitas—menjadi versi palsu dari diri sendiri demi konten yang "instagrammable" atau "viral-worthy". 

Autentisitas kalah dengan popularitas. Proses ini tidak hanya merusak kesehatan mental, tetapi juga mengikis pembentukan identitas diri yang seharusnya terjadi secara alami di masa kanak-kanak.

Empati di Balik Layar yang Menipis

BACA JUGA:Bansos untuk Warga Musi Rawas, Bukan Jumlah Bantuannya, Namun Ketepatan Sasaran dan Dampaknya

Interaksi digital menciptakan jarak psikologis yang berbahaya bagi perkembangan empati. Ketika berkomunikasi melalui layar, anak-anak tidak melihat ekspresi wajah, tidak mendengar nada suara, tidak merasakan emosi langsung dari lawan bicara. 

Akibatnya, kata-kata menyakitkan menjadi mudah dilontarkan—cyberbullying terjadi tanpa beban moral yang seharusnya ada.

Komentar pedas, body shaming, atau meme mengejek terasa seperti permainan belaka. Generasi Alpha tidak memahami bahwa di balik setiap akun ada manusia dengan perasaan yang bisa terluka. 

Anonimitas atau jarak fisik menciptakan ilusi bahwa tindakan mereka tidak memiliki konsekuensi nyata.

BACA JUGA:Hardiknas di Persimpangan Jalan: Mencari Pendidikan Indonesia yang Adil, Berkualitas dan Berkelanjutan

Padahal, empati adalah fondasi kehidupan sosial yang sehat. Tanpa empati, masyarakat kehilangan kemampuan untuk saling memahami, berkolaborasi, dan hidup harmonis. 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: