Oleh: Rina Pramesti *)
Banjir yang melanda berbagai wilayah di Sumatera sepanjang tahun 2025 kembali menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi di Indonesia bukan lagi sekadar persoalan alam.
Peristiwa ini mencerminkan krisis tata kelola lingkungan yang masih belum ditangani secara serius dan berkelanjutan.
Curah hujan yang tinggi memang menjadi faktor pemicu, namun tanpa kerusakan lingkungan yang masif, banjir seharusnya dapat diminimalkan dampaknya.
BACA JUGA:Tantangan Membentuk Gerakan Pemuda Pemudi di Suatu Desa
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali—mulai dari pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, hingga ekspansi permukiman—telah mengurangi daya dukung lingkungan.
Kawasan resapan air menyusut, daerah aliran sungai rusak, dan sistem drainase alam kehilangan fungsinya.
Akibatnya, air hujan tidak lagi terserap secara optimal dan dengan mudah meluap ke kawasan permukiman.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan yang mengabaikan keseimbangan lingkungan justru menciptakan kerentanan baru bagi masyarakat.
BACA JUGA:Rusaknya Moral Anak Muda Akibat Media Sosial
Dampak banjir di Sumatera tahun 2025 tidak hanya terlihat pada rusaknya infrastruktur, tetapi juga pada kehidupan sosial dan ekonomi warga.
Aktivitas ekonomi terhenti, akses pendidikan terganggu, serta risiko penyakit meningkat.
Ironisnya, kelompok masyarakat kecil dan kurang mampu menjadi pihak yang paling merasakan penderitaan, meskipun mereka bukan aktor utama perusakan lingkungan.
Ketimpangan ini memperlihatkan belum terwujudnya keadilan sosial dalam pengelolaan sumber daya alam.
BACA JUGA:Etika Digital Generasi Muda di Era Media Sosial