Bagaimana Hukum Sungkeman saat Lebaran Idul Fitri? ini Penjelasan Ustadz M Mubasysyarum Bih

Bagaimana Hukum Sungkeman saat Lebaran Idul Fitri? ini Penjelasan Ustadz M Mubasysyarum Bih

Tradisi sungkem saat Lebaran Idul Fitri.--Freepik

LINGGAUPOS.CO.ID - Sungkeman merupakan salah satu tradisi Jawa yang marak dilakukan saat Lebaran Idul Fitri.

Selain itu, cara sungkem kepada orang tua saat lebaran serta ucapannya dalam bahasa Jawa memang tidak ada yang khusus. 

Kemudian, sungkeman bisa menunjukkan bakti seorang anak kepada orang tuanya. 

Biasanya orang-orang lebih muda akan datang ke rumah kaum yang lebih tua untuk melakukan sungkeman dan saling meminta maaf.

BACA JUGA:Arus Balik Lebaran Idul Fitri 1445 H, Amalkan Doa ini Agar Diberikan Perlindungan dan Keselamatan

Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam artikelnya di NU Online berjudul Tradisi Sungkeman saat Lebaran Menurut Hukum Islam menjelaskan bahwa tradisi sungkeman setidaknya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, Hukum asal. Kedua, dari sudut pandang tradisi.

Menurut Ustadz Mubasysyarum Bih, hukum asal sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Sebab posisi jongkok sambil cium tangan merupakan ekspresi memuliakan orang yang lebih tua.

"Syariat tidak melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku'," tulisnya dikutip NU Online, Senin 15 April 2024.

Ustadz Mubasysyarum Bih kemudian mengutip pandangan Imam Al-Nawawi dalam Kitab Raudlah al-Thalibin yang menyebutkan kebolehan mencium tangan seseorang karena beberapa faktor, antara lain karena kezuhudannya, keilmuannya, dan faktor usia lebih tua. 

BACA JUGA:Muslim Wajib Tahu, Inilah 9 Syarat Menjadi Imam Salat Berjamaah Menurut Ajaran Islam

"Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua," demikian keterangan Imam Al-Nawawi yang dikutip Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam tulisannya. 

Pendapat lain menyebutkan bahwa ekspresi takzim kepada orang yang lebih tua hukumnya sunnah, yakni ketika dilakukan dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Pandangan ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin.

Lebih jauh, Syekh Syihabuddin al-Qalyubi dalam Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli menyampaikan pandangan sebagian ulama yang justru mewajibkan memuliakan kerabat dengan cara berdiri, ketika meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim.

"Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri (memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk perbuatan yang memutus tali silaturahim," demikian penggalan pandangan ulama yang disampaikan Syekh Syihabuddin al-Qalyubi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: