Ketika Alam Membalas: Pelajaran dari Banjir Bandang di Sumatera Barat

Ketika Alam Membalas: Pelajaran dari Banjir Bandang di Sumatera Barat

Roro Sekar Mulyani --

Oleh: Roro Sekar Mulyani *)

Banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat bukan sekadar peristiwa alam yang datang tiba-tiba, melainkan akumulasi dari berbagai persoalan lingkungan yang selama ini kerap diabaikan. 

Alam sejatinya memiliki mekanisme keseimbangan, namun ketika keseimbangan tersebut dirusak oleh tangan manusia, maka bencana sering kali menjadi konsekuensi yang tak terelakkan. 

Tragedi ini seharusnya menjadi cermin besar bagi bangsa Indonesia dalam menata kembali hubungan antara manusia dan alam.

BACA JUGA:Aksi Peduli Penggalangan Dana untuk Korban Banjir

Kerusakan hutan, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta lemahnya pengawasan terhadap aktivitas eksploitasi sumber daya alam menjadi faktor yang memperparah dampak hujan ekstrem. 

Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air kini kehilangan perannya, menyebabkan air hujan langsung mengalir deras ke sungai dan permukiman warga. Ketika daerah hulu tidak lagi mampu menahan limpasan air, maka wilayah hilir menjadi korban utama.

Ironisnya, bencana seperti ini bukan pertama kali terjadi. Namun, setiap kali musibah berlalu, komitmen untuk memperbaiki tata kelola lingkungan sering kali ikut menghilang. 

Upaya mitigasi masih lebih banyak bersifat reaktif daripada preventif. Pemerintah dan masyarakat baru bergerak cepat saat korban telah berjatuhan, sementara langkah pencegahan jangka panjang belum menjadi prioritas utama dalam kebijakan pembangunan.

BACA JUGA:Demokrasi Ramai, Partisipasi Sepi

Selain itu, persoalan tata ruang juga patut menjadi sorotan. Permukiman yang berdiri di bantaran sungai, daerah rawan longsor, dan kawasan resapan air menunjukkan lemahnya penegakan aturan. 

Pembangunan yang tidak berbasis kajian lingkungan hanya akan memperbesar risiko bencana di masa depan. Oleh karena itu, pembangunan seharusnya tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjamin keberlanjutan lingkungan dan keselamatan masyarakat.

Namun di balik duka mendalam, bencana ini juga memperlihatkan wajah solidaritas bangsa. Gotong royong, empati, dan kepedulian antar warga menjadi kekuatan sosial yang patut diapresiasi. 

Nilai-nilai kemanusiaan ini harus terus dirawat, tidak hanya saat bencana terjadi, tetapi juga dalam upaya bersama menjaga alam sebagai sumber kehidupan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: