Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (3)

Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (3)

Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (3)--

Catatan: Hendy UP *) 

D.  Revolusi Mental ala Kikim-Empayang

Sungguh sebuah sikap yang sangat mulia nan "full courage", ketika seseorang atau sekelompok orang  memutuskan meninggalkan tanah tumpah darahnya demi memikirkan kehidupan yang lebih layak bagi dzuriyatnya di kelak kemudian hari. 

Apatah lagi jika terus meyakini bahwa kelayakan hidup anak-cucunya itu hanyalah bisa diraih, utamanya dengan eskalasi pendidikan yang bermoral Pancasila.

BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (2)

Jikalah aku berada pada titik koordinat kehidupan itu, niscaya aku pun akan berfikir setali tiga uang. 

Bahkan  bersemangat untuk mengekstrapolasi lengkung geometrikalnya sembari tetap berada di wilayah iqro dalam tafsir surah Al-Alaq itu. 

Bahwa ada ungkapan "hubbul wathon minal iman",  itu benar! Tapi itu lebih pada konteks nasionalisme-kebangsaan, bukan seremeh-temeh cinta mati kampung halaman.

Agaknya model "revolusi mental" semacam inilah yang pada tahun 1950-an menggelayuti benak para tetuo masyarakat Dusun Lubuktube dan sekitarnya di wilayah Marga PSEKSU. 

BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (1)

Dalam permenungannya di tengah dalu, barangkali sampailah pada kesimpulan batin: 

"Betapa lingkungan dan sumberdaya lahan kampung ini tak akan mampu menampung kinerja-ekstra para anak-cucuku kelak, demi kemaslahatan hidupnya. Padahal, kehidupan umat kelak akan semakin kompetitif dan memerlukan 'ruang alam' yang lebih luas demi menaklukan hingar-bingar modernitas yang tak berbatas".

Lalu, apakah sikap pemberani ini merupakan  karakter dasar masyarakat Kikim-Empayang yang bersifat genotipe? 

Jawabannya mungkin ada pada kata "penjalang", dari nama marga Penjalang Suku Empayang Kikim dan Saling Ulu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: