Sumatera Selatan Pada Fase Puncak Kemarau, 11 Daerah Curah Hujannya Rendah, Kekeringan Mengancam

Sumatera Selatan Pada Fase Puncak Kemarau, 11 Daerah Curah Hujannya Rendah, Kekeringan Mengancam

Sumatera Selatan puncak kemarau, kekeringan mengancam-jcomp-freepik

PALEMBANG, LINGGAUPOS.CO.ID – Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa Sumatera Selatan (Sumsel), pada saat ini sedang berada pada puncak musim kemarau.

Oleh karena itulah BMKG mengingatkan agar semua pihak untuk menghindari aktivitas membakar lahan dan hutan, yang dapat mengancam terjadinya kebakaran baik pada perumahan, kebun, hutan dan lahan.

Kepala Stasiun Klimatologi Kelas I Sumatera Selatan Wandayantolis dalam rilis yang diterima LINGGAUPOS.CO.ID, Senin 14 Agustus 2023, mengatakan pada saat kemarau, selain munculnya bahaya kebakaran lahan dan kekeringan, kualitas udara cenderung menurun.

Karena meningkatnya polusi partikulat dari debu dan asap, penggunaan masker saat di luar ruangan akan dapat mengurangi gangguan kesehatan.

BACA JUGA:Memasuki Musim Kemarau, Masyarakat Dihimbau Tetap Waspada DBD

Ia juga menjelaskan, sebagaimana prakiraan awal, puncak kemarau di Sumatera Selatan pada Juli dan Agustus meski hujan secara lokal dengan durasi pendek masih terjadi.

Perkembangan dinamika atmosfer yang menunjukkan eksistensi el nino lemah dengan potensi meningkat menjadi moderat pada akhir tahun.

Bahkan dijelaskan ada 11 daerah yang curah hujannya rendah, yang disebut juga dengan Hari Tanpa Hujan (HTH).

Bahkan di sebagian kecil Kabupaten OKI yang mencapai 21-30 hari.

BACA JUGA:Hattrick La Nina Tiga Tahun Berturut-turut Sebabkan Musim Kemarau Datang Terlambat

Kategori menengah 11-20 hari terjadi pada sebagian OKI, sebagian OI, sebagian Lahat, sebagian kecil OKU Timur, OKU, OKU Selatan, Pagar Alam, Muara Enim, PALI, Banyuasin dan Musi Banyuasin.

Meluasnya HTH mengindikasikan kekeringan meteorologis yang mulai terjadi di mana curah hujan telah jauh lebih rendah dibandingkan laju kehilangan air dari permukaan bumi.

Hal ini tentunya meningkatkan potensi tingkat kemudahan terbakar pada hutan dan lahan.

Pantauan titik hotspot terus bermunculan membutuhkan usaha yang lebih besar guna penanganannya agar tidak meningkat menjadi titik api kebakaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: