Masuk Surga

Masuk Surga

Dahlan Iskan menerima kaos bertuliskan "Wartawan PWI Semua Masuk Surga Kecuali yang Tidak Mau" di Batam-artikel ilham bintang-

BACA JUGA:Pantai Melayu

Itu berubah total sejak reformasi tahun 1999. PWI bukan lagi satu-satunya organisasi wartawan. Untuk menerbitkan koran juga tidak perlu lagi izin, apalagi sekadar rekomendasi. Ibarat polisi, PWI tidak punya senjata lagi.

Kini pun dewan kehormatan masih bisa menindak wartawan. Tapi tidak membawa dampak apa-apa.

Wartawan bisa kehilangan pekerjaan hari itu, tapi besoknya sudah bisa bekerja di media yang lain lagi.

"Bahkan bisa bikin medianya sendiri," ujar seorang wartawan peserta seminar.

Kegundahan seperti itulah yang dialami IDI sekarang. PWI sudah gundah selama 23 tahun. Sudah kebal.

Belum juga menemukan cara baru. Sudah move on tapi belum bisa disebut move forward, apalagi move up.

Saya sudah lupa ini seminar serupa yang  ke berapa, saking banyaknya.

Saya salah duga. Saya bicara pendek lantaran mengira waktu terbanyak akan dipakai untuk menyerang saya.

Terutama sejak saya menulis ''PWI sudah kehilangan gigi'' di Disway berjudul IDI PWI.

Ternyata diskusinya serius sekali. Sampai membicarakan urgensi sertifikasi wartawan. "Wartawan itu diakui karena tulisannya, bukan sertifikatnya," ujar Wakil Pemred Kompas yang juga salah satu ketua Dewan Pers.

"Sertifikasi guru dianggap penting bagi guru karena begitu bersertifikat gajinya naik," ujar seorang wartawan yang duduk di deretan belakang.

Hari kedua, seminarnya dilakukan di satu tempat yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Batam: Singapura. Penceramahnya: Duta Besar Republik Indonesia di Singapura, Suryopratomo. Dipanggil Mas Tommy.  Ia tokoh pers. Pernah menjabat pemimpin redaksi Kompas. Juga pemred Metro TV. Topiknya: Bagaimana Singapura Mengatur Pers dan Media?

Pagi-pagi peserta naik ferry ke Singapura. Dijamu makan siang di kedubes. Lalu mendengarkan ceramah pak dubes. Setelah itu mereka keliling negara, ups, keliling kota. Zul ingin wartawan berwawasan luas. Tahu Singapura termasuk penting. Saya termasuk yang punya pemikiran begitu. Saya banyak mengirim wartawan ke negara maju, pun ketika Jawa Pos belum kaya.

Saya baru sekali ini menginjakkan kaki di KBRI di Singapura. Aulanya, di lantai bawah, nyaman dan lapang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: