Disidangkan MKD DPR RI, ini Dugaan Kesalahan Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patrio dan Ahmad Sahroni CS

Disidangkan MKD DPR RI, ini Dugaan Kesalahan Nafa Urbach, Uya Kuya, Eko Patrio dan Ahmad Sahroni CS

MKD DPR RI saat sidang etik terhadap 5 anggota DPR RI.--disway.id

Menurutnya, saat ini banyak orang tidak lagi mengukur kebenaran berdasarkan data, riset, atau akurasi, melainkan dari seberapa ramai suatu pernyataan atau video diperbincangkan di media sosial.

"Ini kaitannya tuh dengan adanya bias. Jadi masyarakat kita itu, bahkan sekarang itu ada tren. Yang namanya kebenaran itu bukan yang paling benar menurut data, riset atau akurasi, tetapi sering pernyataan video yang paling banyak dikomentarin, banyak di-like, banyak di-share ramai-ramai, itu dianggap sebagai benar," kata Ismail di MKD DPR RI, Senin, 3 November 2025.

Ia menjelaskan, kondisi tersebut muncul karena rendahnya literasi digital masyarakat. Banyak pengguna media sosial yang tidak memiliki kemampuan memadai untuk memverifikasi informasi yang mereka terima.

“Ini, persepsi ya, ini namanya bias. Jadi ada bias karena orang ramai-ramai menshare itu. Dan ini hubungannya sebetulnya dengan literasi digital. Dan kalau kita tahu literasi digital masyarakat kita tuh masih sangat lemah, sehingga ketika dikasih informasi entah itu benar atau salah sulit buat mereka untuk melakukan verifikasi," ungkapnya.

BACA JUGA:Kementerian ATR/BPN Raih Penghargaan Rural Development dan Regional Equity dalam CNN Awards Tahun 2025

"Jadi niat untuk melakukan verifikasi itu sangat kecil. Mereka cenderung untuk kemudian mengkonsumsi dan menyebarkan, gitu," sambung dia.

Lebih lanjut, Fahmi menjelaskan kondisi ini diperparah dengan adanya potongan-potongan video aksi anggota DPR yang dinilai memicu emosi publik.

Ismail menjelaskan, disinformasi di media sosial sering menyebar dengan kecepatan luar biasa karena mekanisme algoritma platform yang mendorong konten viral. 

Sementara itu, klarifikasi dan verifikasi, meski dilakukan, tidak mampu menyaingi laju penyebaran hoaks.

BACA JUGA:Wujudkan Lingkungan Lapas yang Nyaman, Kalapas Narkotika Muara Beliti Bersinergi dengan Disperkim Musi Rawas

“Hoaks dan disinformasi menyebar seperti naik mobil Ferrari. Namun, klarifikasinya sering disampaikan dengan cara yang kering dan lambat,” ungkapnya

Pengamat Media Sosial ini menjelaskan fenomena context collapse atau keruntuhan konteks di media sosial, di mana potongan video kehilangan makna aslinya ketika disajikan dengan narasi berbeda.

“Tadi video yang terakhir sebetulnya sudah agak benar cuma narasinya agak beda. Videonya lengkap, anggota dewan karena memang lagi ada musik, ikut menghargai, ikut dancing,” katanya.

“Ketika itu disajikan dengan konteks yang lain, dengan narasi yang lain, ‘Lihat, anggota dewan joget-joget karena gajinya naik.’ Nah, ini namanya ada dua konteks yang berbeda, satu gaji naik, satu lagi karena joget. Ketika disambungkan itu collapse, saling numpuk,” tutur dua.

Dapatkan update berita LINGGAUPOS.CO.ID di platform media sosial di LINK INI 

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber: