Seperti disambar petir Bujang Bekorong berdiri lunglai menerima kenyataan pahit hidupnya, ingin rasanya Ia berteriak sekeras-kerasnya.
BACA JUGA:Sempat Masuk Wilayah Keresidenan Palembang, Berikut Sejarah Musi Rawas, 2 Kali Dimekarkan
Namun ke Enam Dehe dengan sigap menguasai perasaan Rajanya yang sangat merindu.
Belaian-belaian tangan Dehe Enam yang lemah lembut telah meluluhkan rasa kesedihan Sang Raja.
Trik semacam ini ternyata adalah salah satu strategi dari skenario kebusukan hati Dehe Enam, yang pada akhirnya ingin menguasai hati Sang Raja.
Sang Raja ingin melihat kuburan kedua orang yang dikasihinya. Dehe Enam dan Hulubalang mengantarkan Sang Raja ke Kuburan Dewi Bungsu dan Putranya.
Sang Raja bersimpuh di gundukan tanah merah, sambil berdo'a dan meneteskan air mata.
Dalam hati Sang Raja meyakini bahwa Dehe Enam tidak mengarang-ngarang cerita.
Walaupun sebelumnya Sang Raja ada perasaan curiga kepada Dehe Enam. Setelah melihat makam istri dan anaknya, dan melihat situasi kerajaan yang memang tidak terlihat permaisuri dan anaknya, Sang Raja berusaha menerima kenyataan.
Dengan langkah berat, Sang Raja minta diantar ke kamarnya untuk beristirahat. Hulubalang pun sigap tanpa menunjukan kecurigaan walaupun sebenarnya hulubalang adalah kaki tangan Dehe Enam.
Dehe Enam mengiring Sang Raja, dengan perasaan kemenangan dan semua berjalan sesuai rencana.
Waktu terus bergulir tanpa mau mundur, dan itulah kehidupan yang terus mengalir seperti air.
Demikianlah Sang Raja Bujang Bekorong dengan kerajaannya yang harus tetap hidup menjadi kerajaan yang kuat dan disegani oleh lawan.
Seperti biasanya malam itu Sang Raja, belum dapat memejamkan matanya.Ia merasa gelisa di pembaringan yang sangat indah tanpa ada pendamping yang menemani malamnya.