Politik Praktis (2)

Politik Praktis (2)

Komisioner KPU RI jumpa pers penutupan pendaftaran Parpol peserta Pemilu 2024, Senin 15 Agustus 2022 dini hari-Intan Afrida Rafni/disway.id---

Oleh: Hendy UP *) 

Sungguh tidak terlalu ingat, sejak kapan pertama kali saya memahami kata politik praktis. Mungkin, rasa-rasanya ketika saat itu tak sengaja 'nimbrung-nguping'  diskusi para aktivis HMI di tahun 1975.  

Ya, diskusi santai-rutin di ruang tamu, sebuah rumah kost-kostan para mahasiswa,  nun jauh di jalan Kebondalem IV,  Kaumanlama, Purwokerto. 

Saat itu saya masih siswa SLTA, bertetangga kost dengan para mahasiswa IAIN dan UNSOED dari berbagai daerah dan pulau. 

Salah satu aktivis itu bernama Mas Noer, mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, yang juga ketua HMI Cabang Purwokerto. 

BACA JUGA:Politik Praktis (1)

Masih terngiang-ngiang, dalam diskusi-panjangnya mereka sering menyebut tokoh-tokoh HMI semisal: Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Ridwan Saidi, Chumaidi Syarif, Abdullah Hehamahua dan tokoh-tokoh lainnya. 

Menjadi semakin agak faham akan makna kata politik, ketika kemudian saya ikut nimbrung di komunitas Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Yogyakarta Besar.  

Sungguh sebuah pengalaman baru, manakala bisa mengikuti 'Basic Training' (Batra) dan Diklat Jurnalistik-nya yang diselenggarakan di Balai Muslimin Kompleks Masjid Agung Purwokerto.

Kala itu, salah seorang narasumber dari HMI Yogyakarta, dengan super-semangat menguraikan anatomi persoalan politik nasional dan hal-ikhwal politik praktis yang harus difahami oleh warga PII (dan HMI). 

BACA JUGA:Nama Tokoh Itu Nyungsep Tertungging!

Akumulasi makna kosa politik  yang berserakan kala itu, rupanya mampu menembus bagian dalam otak, lalu mengendap di penampungan "lobus temporal"  hingga membentuk persepsi khusus tentang politik praktis hingga saat ini. 

Suasana politik di kalangan mahasiswa kala itu masih agak membara api, sebagai dampak dari Fusi Parpol 1973, peristiwa Malari 1974 dan  lahirnya UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. 

Kedudukan  Golkar  dalam konstelasi politik nasional sangat kuat, dan kata 'oposisi' dalam perpolitikan Indonesia  sudah berlumuran tipp-ex dan mendekati haram jika diucapkan secara vulgar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: