Yaa, derap pembangunan, kadang seperti mengubur bongkah sejarah. Lalu musnah, karena sedikit orang yang peduli untuk sekadar mencatatkan kisah.
Gedung ini membelakangi lapangan upacara Pemda. Di pagi hari, di sorot mentari, dindingnya tampak comeng, suram-pucat bagai berpupur-bedak kadaluwarsa.
Tampak belepotan sengkarut warna, mirip anak ikan semah hasil berkawin dengan sepat di sungai Endikat.
Dari jauh tampak menggigil menahan dingin, agak-agak doyong tak kuat menahan beban.
BACA JUGA:Kebijakan Pemasyarakatan: Kebijakan Perlakuan Khusus Terhadap Narapidana Resiko Tinggi di Lapas
Menjelang petang, tampak gerah, berlumur keringat busuk yang menguar dari pori kusen pintu dan jendela kaca.
Di ruang rapat lantai dua, daun pintu dan plafonnya mulai terjungkal berjatuhan. Miring melintang centang-perenang.
Ini ulah para kumbang yang leluasa ulang-alik tanpa mematuhi rambu-rambu penerbangan di ruangan khusus.
Mungkin mereka tahu bahwa pemilik gedung ini tak jelas dan tanpa status.
Halaman gedung tua itu seperti meronta pasrah. Mungkin ingin kembali menjadi huma yang subur di tengah hutan adat marga Proatinlima dahulu kala.
Atau, setidaknya menjadi area Onderneming Tabapingin ketika pertama kali dimanjakan Kolonial Belanda sebagai kebun sawit di tahun 1919.
Pada dekade tahun 1990-an hingga 2015-an, gedung itu sungguh sangat bergengsi. Aku adalah salah satu ASN yang wajib bersaksi.
Dari sisi sivil-arsitekturalnya, bangunan itu tampak modern. Anggun nan kokoh.
BACA JUGA:Globalisasi: Ancaman atau Peluang Bagi Identitas Nasional Bangsa Indonesia?
Konstruksinya menjulang tinggi, dengan kalkulasi lengkung geometrikalnya yang bersudut gempal di atas pintu utama.