Menjadi Saksi Kematian Marga (3)
Oleh Hendy UP Sejujurnya saya kurang sepaham dengan pendapat JW van Royen bahwa penduduk Uluan Sumbagsel berasal usul dari tiga pegunungan Seminung Dempo dan Kaba Argumentasi dasarnya adalah bahwa kecuali di tempat diturunkannya Nabi Adam Alaihis Salam dan beberapa generasi setelahnya yang masih belum keluar dari benua asal pertumbuhan dan peradaban manusia itu dibangun dari di tepian pesisir pantai dan atau di sepanjang sungai sungai atau danau danau Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli yang dikutip Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna Historisitas Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila 2011 hal 258 Tulisan Sebelumnya Menjadi Saksi Kematian Marga 1 Menjadi Saksi Kematian Marga 2 Ketika pada tahun 1927 JW van Royen mencatat tentang masyarakat Uluan Sumatera Selatan barangkali kurang cermat dan hanya mencatat sepenggal cerita tidak komprehensif sehingga lupa tentang sebuah fakta bahwa peradaban masyarakat Uluan telah berkembang jauh di abad keempat dan kelima sebelum terbentuknya Kerajaan Sriwijaya di tahun 682 M Terlepas dari analisis mitologisnya mungkin saja ada fase ketika masyarakat kuno Sumbagsel yang hidup di pinggiran sungai sungai Musi dan anak anaknya yang terancam oleh ekspansi pasukan Wangsa Syailendra Perompak Cina yang berkuasa 300 an tahun Kerajaan Majapahit dan serbuan Kolonial Belanda Inggris maka mereka menyelamatkan diri dan bertahan ke kawasan pegunungan di Uluan Palembang Jangan lupa pada tahun 1819 Kesultanan Palembang pernah diserang Belanda habis habisan hingga di Muarabeliti Dua tahun kemudian pada 6 Juli 1821 Belanda berhsil menangkap Sultan Mahmud Badaruddin II Dan sangat mungkin kala itu 100 an tahun sebelum Van Royen menulis masyarakat Sumsel yang hidup damai sejahtera di dusun dusun di sepanjang aliran sungai sungai menyelamatkan diri ke gunung gunung di uluan sungai Musi dan anak anaknya dan membangun peradabannya sesuai dengan lingkungan pegunungan tersebut Terlepas dari polemik muasal manusia purba Sumbagsel tetapi para antropolog meyakini bahwa telah bertumbuh komunitas purba di pinggiran sungai Musi dan anak anaknya yang membentuk sebuah peradaban Mula mula terbentuk rumpun keluarga yang bersifat genealogis menetap di sebuah talang umbul sosokan dan berkembang secara kekerabatan yang diikat oleh norma ke Puhyang an Dalam masa yang relatif lama bertumbuhnya populasi generasi baru akan membentuk kelompok kekerabatan yang lebih besar dan membentuk lembaga kekuasaan dan lembaga teritorial yang kelak disebut dusun atau proatin Lembaga sederhana yang terbentuk secara natural alamiyah tersebut mulai merasakan kebutuhan seorang pemimpin yang natural yang dikenal dengan sebutan primus enter pares firts among equals yang dipilih disepakati oleh mayoritas warga dusun dari beberapa tokoh tetua yang setara keilmuan kesaktian kewibawaannya dengan keunggulan tertentu yang akhirnya terpilih Pada fase selanjutnya dalam rangka mempertahankan keutuhan kekerabatan kesenasiban warga dusun untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya yang semakin beragam serta demi mempertahankan identitas kelompok maka muncullah kebutuhan norma yang mengikat kekerabatan sedarah genealogische rechtgemeenschap Kelak norma yang dikukuhkan menjadi pegangan dalam kehidupan kekerabatan itu menjadi norma hukum adat istiadat Sebagai mandataris norma hukum adat tersebut ditunjuklah Sang Pemimpin Dusun untuk menjaga mengandang melaksanakan mengembangkan dan sekaligus menjatuhkan sanksi adat kepada mereka yang melanggar adat Di saat itu hukuman yang paling berat adalah membuang mengusir pelanggar adat dari wilayah dusun sehingga ada sebutan wang tebuang atau orang kabuang Tupoksi sang Pemimpin Dusun yang pertama dan utama adalah menjaga mengandang norma adat istiadat agar tegak berdiri secara adil dan beradab dan tidak pandang bulu Oleh karenanya pemimpin dusun itu dahulu disebut Pengandang Bersambung nbsp Muarabeliti 1 Juni 2022
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: