Wacana Menghapus Pemilihan Langsung dan Krisis Kepercayaan Publik, Momentum Reformasi atau Erosi Demokrasi

Senin 22-12-2025,17:10 WIB
Reporter : Endang Kusmadi
Editor : Endang Kusmadi

Oleh: Panji Karnia Putra *)

Dalam beberapa minggu terakhir, dinamika politik Indonesia kembali memanas. Presiden Prabowo Subianto dan partai-partai koalisi yang mendukungnya mengusulkan untuk menghapus sistem pemilihan kepala daerah langsung dan menggantinya dengan pemilihan melalui DPRD. 

Ide itu diangkat dengan alasan efisiensi biaya dan pencegahan politik uang, tetapi juga memicu kritik tajam dari aktivis pro-demokrasi dan masyarakat sipil yang melihat ancaman terhadap prinsip partisipasi rakyat. 

Usulan yang semula tampak teknokratis ini memperlihatkan sebuah ketegangan mendasar dalam kehidupan demokrasi Indonesia: antara upaya “efisiensi” birokrasi dan kebutuhan untuk menjaga ruang partisipasi publik yang luas dan langsung. 

BACA JUGA:Revitalisasi Semangat Kebangsaan di Era Media Sosial

Demokrasi bukan sekadar mekanisme administratif, tetapi juga sebuah ruang di mana suara rakyat secara nyata menentukan arah pemerintahan. 

Menghapus pemilihan langsung tanpa dialog publik yang luas berpotensi mengecilkan peran rakyat dalam menentukan nasib politiknya sendiri.

Lebih jauh lagi, wacana ini datang di tengah latar belakang lain yang tak kalah penting. Pemerintahan saat ini tengah menghadapi kritik karena beberapa isu besar: dari penataan ulang jabatan sipil hingga kasus-kasus hukum yang ramai dibicarakan publik. 

Rangkaian isu ini berkontribusi pada polarisasi dan ketidakpercayaan di tengah masyarakat. 

BACA JUGA:Kades Demo Kemenkeu, Dana Desa: Alat Pemerataan Pembangunan, Bukan Pemicu Kegaduhan

Sementara itu, keberhasilan partai tertentu dalam survei elektabilitas, seperti Gerindra yang menempati posisi tertinggi menurut survei IPO, menunjukkan ada dukungan kuat untuk figur dan partai yang kini berkuasa. 

Namun, elektabilitas tinggi itu jangan diartikan sebagai legitimasi mutlak tanpa mempertimbangkan konteks sosial-ekonomi yang tengah bergolak, terutama ketika rakyat masih bergulat dengan tantangan biaya hidup dan pelayanan publik. 

Momentum ini seharusnya menjadi panggilan untuk reformasi demokrasi, bukan untuk pembatasan ruang politik. 

Alih-alih hanya mengevaluasi mekanisme pemilihan, pemerintah dan DPR perlu memfokuskan pada peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan, pemberantasan korupsi yang konsisten, dan dialog publik yang lebih inklusif. 

BACA JUGA:Bansos untuk Warga Musi Rawas, Bukan Jumlah Bantuannya, Namun Ketepatan Sasaran dan Dampaknya

Kategori :