Mengenal Sosok Raden Dewi Sartika, Pahlawan Pendiri Sekolah Wanita Pertama, Begini Kisahnya

Kamis 01-08-2024,19:46 WIB
Reporter : Endah Sari
Editor : Budi Santoso

Salah satunya adalah ia diberi banyak pekerjaan rumah tangga dan harus rela menempati kamar belakang sebagai pelayan.

Alasan Dewi diperlakukan berbeda ialah karena hukuman buang yang diterima ayahnya dianggap sebagai aib bagi golongannya.

Hingga suatu hari, Dewi Sartika terdorong untuk memajukan kaum wanita melalui pendidikan, dimana saat itu perempuan masih buta huruf dan pengetahuannya kurang.

Sementara, Dewi Sartika sadar jika kunci untuk membuat perempuan mandiri, berpengetahuan, dan dapat memperjuangkan haknya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain, tak lain jalannya melalui pendidikan.

BACA JUGA:6 Pahlawan Wanita Indonesia Berperan Penting Dalam Kemerdekaan, Patut Dikenang, Begini Perjalanannya

Pemikiran itu didasari pula oleh pengalaman dalam keluarganya, saat ibunya lebih memilih mengikuti suami di pengasingan, dari pada menjaga anak-anaknya yang masih belia.

lantas, pada 1902, sepulang ibunya dari ternate setelah ayahnya meninggal di pengasingan, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya berkumpul kembali di Bandung.

Sekembalinya ke Bandung, tekad Dewi Sartika membuka sekolah untuk remaja putri semakin bulat.

Saat itu, Dewi Sartika kemudian pun mulai mengajar saudara-saudaranya merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis, di ruang kecil di belakang rumah ibunya.

BACA JUGA:SMP Xaverius Lubuklinggau Sukses Peringati Hari Sumpah Pemuda, Bulan Bahasa dan Hari Pahlawan

Sebagai balas jasa, mereka yang belajar membawakan berbagai kebutuhan hidup untuk Dewi Sartika dan keluarganya, seperti beras, garam, dan buah-buahan.

Aktivitas Dewi Sartika didengar oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung, C Den Hammer, yang merasa terkesan dan mendukung keinginannya untuk mendirikan sekolah perempuan pribumi.

Dari situlah, Dewi semakin terpacu dan memutuskan menghubungi kerabatnya untuk meminta bantuan, tetapi mereka menentang gagasannya.

Sebab, kerabatnya masih menganggap sekolah bagi perempuan bertentangan  dengan adat istiadat  dan tidak berguna.

BACA JUGA:SMP Xaverius Lubuklinggau Sukses Peringati Hari Sumpah Pemuda, Bulan Bahasa dan Hari Pahlawan

Ide dari  Dewi Sartika justru dianggap tabuh. Namun C Den Hammer mengusulkan agar meminta bantuan kepada Bupati Bandung R.A.A Martanegara.

Kategori :