Catatan: Hendy UP *)
F. Kesadaran yang Tertunda
Pada sekitar Oktober 1956, pasca- penandatanganan kuitansi pembelian tanah seluas 2 hektar dari Sdr. Bachtiar Amin, maka Tri Surveyor (Sdr. Sumbat, Sdr. Uni dan Sdr. Kisum) segera kembali ke dusun Lubuktube-Kikim untuk menyusun persiapan perpindahan massal.
Demi mendengar info transaksi tersebut, 4 orang penghuni lama Rompok Airketuan, yang merupakan tetangga Mang Barim, merasa senang hati bakal ada keramaian kehidupan di lingkungannya.
BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (4)
Mereka adalah Sdr. Samad, Sdr. Djuna, Sdr. Sanudin, dan satu orang perantau dari Jawa (anonim) yang bertetangga dengan Mang Barim.
Kesemuanya adalah anak-buah Haji Somad Mantap dan/atau Bachtiar Amin.
Sekembalinya di Dusun Lubuktube-Kikim, Tri Surveyor ini terus mengolok, memprovokasi dan menyadarkan kerabat dan tetangganya untuk mau migrasi, mengubah nasib demi anak-cucu zuriyatnya kelak.
Menurut narasumber Djawaludin, materi penyadaran ini terdiri dari dua hal pokok. Yakni, bidang pendidikan anak dan prospek ekonomi masa depan.
BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (3)
Pertama, sulitnya akses pendidikan bagi anak-anak. Sekolah terdekat ada di Dusun Lubukatung, yakni di arah hulu alur sungai Kikim.
Itu pun hanya ada SR Klas 4. Untuk menuju ke Lubukatung, anak-anak harus berangkat pagi-gelap, membawa obor, dan menyeberang sungai Kikim dua kali, karena liukan sungai yang melingkar-ular.
Jika hendak melanjutkan ke klas 5 dan 6, yang ada hanya di Dusun Bemban di jalur Kereta Api, dengan jarak tempuh sekitar dua jam-an.
Kedua, jika warga akan menjual hasil bumi (jual getah para/kopi) dan/atau membeli kebutuhan pokok, maka pasar terdekat adalah Pasar Bungamas yang berada di hilir aliran sungai Kikim.
BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (2)