Oleh : Bayu Pratama Sembiring *)
Pendidikan adalah upaya untuk memerdekakan manusia baik secara lahir maupun batin. Pendapat dari Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau nama egaliternya Ki Hadjar Dewantara yang sampai hari ini seharusnya masih relevan untuk diimani.
Pendidikan itu bukan untuk pintar-pintaran, bukan untuk memupuk kesombongan intelektual, pendidikan itu memerdekakan kehidupan. Memanusiakan manusia.
Pendidikan yang memerdekakan secara makna memiliki arti yang lebih dalam.
Bahwa kemerdekaan yang diberikan oleh pendidikan, idealnya tidak hanya berdampak bagi subjek langsung sistem pendidikan nasional, namun harus berdampak bagi semua makhluk yang memiliki kesempatan berinteraksi langsung dengan subjek tersebut.
BACA JUGA:Muratara Pada Jalur Kiri
Sehingga pendidikan dapat diimajinasikan sebagai matahari yang memberikan sinar kepada bumi, cahaya tersebut tidak saja dinikmati bumi, namun semua makhluk yang ada di bumi.
Bahkan, bentuk terkecil susunan tubuh manusia, sel-pun mendapat manfaat dari Vitamin D nya matahari.
Bentuk pendidikan tertinggi sebagai seorang Manusia Indonesia adalah status Mahasiswa.
Strata tertinggi pendidikan yang merepresentasikan kemerdekaan dalam memilih jika dibanding dengan pendidikan dasar dan menengah.
BACA JUGA:Analisis Obyektif Tunjangan Wartawan Bersertifikat
Dengan mimbar bebasnya yang disebut kampus, mahasiswa seharusnya dibebaskan untuk memberikan sinar surya pendidikan yang selama ini dinikmatinya, kepada siapa saja yang membutuhkan.
Perguruan tinggi memiliki kewajiban untuk memfasilitasinya.
Kemerdekaan manusia ini pula yang tampaknya menjadi perhatian Mas Menteri Nadiem Anwar Makarim.
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang berada di bawah otoritasnya membuat terobosan kurikulum pendidikan perguruan tinggi dengan "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka" nya.
BACA JUGA:Onderneming Tabapingin 1870 (3)
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan, Merdeka Belajar adalah suatu pendekatan yang dilakukan supaya siswa dan mahasiswa bisa memilih pelajaran yang diminati.
Tentu dengan tetap mendapat bimbingan dari dosen pengampu.
Menurut Muslikh, dalam jurnalnya "Landasan Filosofis dan Analisis Terhadap Kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka" setidaknya ada empat aliran filsafat yang menunjang Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka.
Yaitu Progresivisme, Konstruktivisme, Humanisme, dan Antropologis. Nah, aliran Konstruktivisme inilah yang menurut saya sebagai bentuk awal proses menuju merdeka.
BACA JUGA:Hujan Sehari-hari
Dimana dijelaskan bahwa Ilmu Pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia melalui pengalaman panca indera.
Semakin banyak dan rumit pengalaman manusia maka akan semakin bervariasi ilmu pengetahuannya, dan kampus harus menghadirkan variasi-variasi itu agar mahasiswa lebih terangsang untuk berkembang.
Kampus sudah mengalami progres yang baik dengan melembagakan merdeka itu sendiri.
Namun hari ini, banyak yang belum memahami hakikat merdeka pada sejatinya arti.
BACA JUGA:Disertasi Dudung
Merdeka pada hakikatnya bukan tentang terbebas dari penjajahan, kolonialisme, dan perbudakan. Merdeka itu esensinya adalah pada kebebasan memilih dan ketersediaan apa yang harus dipilih.
Lalu bagaimana dengan Patok Besi? Atau terang saja Lokalisasi Patok Besi? Adakah kemerdekaan di situ? Adakah rasa adil dirasakan para pelacur di situ? Atau germonya? Atau masyarakat sekitar yang menggantungkan kehidupan ekonominya di wilayah itu?
Bahkan dari penamaan saja, tidak ada merdeka untuk mereka.
Hak orang-orang untuk menamai mereka. Kalau lagi mode lokakarya dan diskusi ilmiah mereka disebut tunasusila, mode obrolan warung mereka disebut pelacur, sementara versi menghardik dan mendikte mereka disebut lonte.
Hal itu juga berlaku untuk mucikari, mami, bahkan germo. Orang-orang ini hanya wajib menerima sebutan itu. Tidak berhak memilih.
Bahkan satu waktu, ketika saya masih Sekolah Dasar, di dalam angkot yang saya naiki menuju sekolah saya, dua orang dewasa serta merta menjustifikasi hidup saya hanya karena saya menunggu angkot di depan gerbang Kampung Baru.
Dia berbisik dengan kawannya, "Anak germo", lalu serta merta bertanya "Mamak kau punyo anak buah berapo?"
Bayangkan, anak usia 10 tahun, tanpa diberi pilihan terlebih dahulu, dijustifikasi, digenarilisirkan, dihukumi, oleh dua laki-laki dewasa yang oleh anak itu dijawab diam.
Dia tidak merasa, namun stigma itu bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk kami terima.
Saya yakin itu tidak hanya terjadi pada saya, semua anak Patok Besi merasakan itu. Ingatan itu membekas, bahkan 16 tahun bukan waktu yang cukup untuk melupakan sakit penghakiman itu.
Kami bukan tidak bisa memilih untuk disebut apa, tapi kami tidak diberikan pilihan itu.
Lebih dalam dari itu, pernahkah kita bertanya secara langsung, apakah para penghuni lokalisasi itu memiliki pilihan untuk hidupnya?
Bagaimana pendidikannya? Bagaimana kondisi pernikahan orang tuanya?
Bagaimana kondisi ekonominya? Bagaimana kondisi lingkungannya? Bagaimana kondisi orang-orang terdekatnya?
Bagaimana kondisi pemahaman agamanya? Bagaimana trauma masa kecilnya? Bagaimana kondisi rumah tangganya?
Bagaimana? Bagaimana? Dan banyak bagaimana lainnya yang seharusnya masuk ke dalam hipotesis kita sebelum memberikan kesimpulan.
Padahal menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme di atas, manusia harus diberi banyak pilihan dan pengalaman untuk lebih mengembangkan pengetahuan dan pengembangan dirinya.
Izinkan seluruh panca inderanya belajar. Bukan mengekang manusia dalam status sosial yang penuh kasta. Atau mengurung manusia dalam tempurung justifikasi.
Mendobrak hal itu, secara bertahap, semua elemen masyarakat di lingkungan Lokalisasi Patok Besi mulai ingin memberikan kemerdekaan itu.
Tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh wanita, tokoh agama, sedikit demi sedikit memberikan kesempatan untuk mereka memilih jalan.
Anak-anak Patok Besi diberikan kesempatan untuk berbaur dengan masyarakat, bermain dengan anak-anak lainnya, mengikuti pengajian dan karang taruna.
Ketua RT setempat juga Menggandeng Kementerian Agama Kota Lubuklinggau untuk memberikan penyuluhan agama secara rutin setiap bulannya.
Bulan Ramadan diadakan tarawih berjama'ah bahkan ada yang mengikuti tadarus (walau hanya di awal bulan).
Memang langkah itu belum cukup besar untuk menghadirkan pilihan-pilihan yang membuat mereka merdeka seutuhnya sebagai manusia.
Sialnya, hal ini tidak serta merta menjadikan dunia luar ramah terhadap Patok Besi. Demo-demo menuntut penutupan masih terdengar.
Bahkan satu tahun ke belakang, sebuah fatwa luar biasa dikeluarkan oleh salah satu ormas keagamaan.
Mereka menuntut penutupan permanen dengan alasan sebagai tempat eksploitasi seks anak di bawah umur, peredaran narkoba, miras, perjudian, dan prostitusi, tanpa didahulukan dengan tabayyun kepada masyarakat sekitar maupun warga lokalisasi, dan mengecek langsung keadaan langsung Lokalisasi Patok Besi itu, baik secara lingkungan maupun psikologinya.
Sehingga kami yang hari ini berjuang bagaimana memberikan pilihan yang pantas untuk mereka, merasa kecewa, marah, bahkan sia-sia.
Lokalisasi Patok Besi butuh pengayom, butuh orang tua, namun yang didapat justru musuh-musuh.
Padahal pelaku di Lokalisasi Patok Besi bukan mereka yang memiliki pilihan seperti yang baru-baru ini tertangkap di salah satu hotel di Lubuklinggau.
Anak di bawah umur dengan status pelajar, tentu mereka bukan tidak memiliki pilihan, mereka bersekolah, memiliki orang tua, dan lingkungan yang normal.
Adalah pilihan mereka untuk melakukan kesalahan itu. Seharusnya yang seperti itu yang harus mendapat fatwa.
Hari ini di lokalisasi tidak ada lagi penyuluhan agama dari Kemenag setiap bulannya, bahkan Salat Tarawih yang lalu, Mushola hanya diisi oleh anak-anak.
Kesombongan intelektual telah merubah kultur pendidikan nonformal yang mulai dibangun, sulit sekali mengharapkan mereka memahami Patok Besi, tapi kini harapan itu lebih relevan kalau ditujukan kepada kampus.
Kampus, menurut budayawan dan kolumnis, Mohammad Sobari, adalah tempat untuk menghardik kesombongan intelektual. Ditambah fungsi kampus sebagai bagian dari tujuan pendidikan yang memerdekakan manusia.
Saya memiliki harapan kampus melalui mahasiswa nya memberi masukan dan ide baru bagaimana menghadirkan kemerdekaan kepada para penghuni Lokalisasi Patok Besi. Program Kuliah Kerja Nyata atau KKN adalah hal yang paling masuk akal untuk disumbangkan.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa dengan pendekatan lintas keilmuan dan sektoral pada waktu dan daerah tertentu di Indonesia.
Dengan keilmuan yang sudah didapat oleh mahasiswa hingga semester akhir menjadikan mahasiswa mampu menilai permasalahan sosial secara lebih bijaksana. Hal itu sangat dibutuhkan di Lokalisasi Patok Besi.
Saat ini, KKN biasanya disebar di desa-desa yang jauh. Boleh-boleh saja, tapi tidak akan menyentuh banyak secara substansial daerah. Karena desa saat ini sudah memiliki otoritas sendiri dengan dana yang juga otonom.
Desa saat ini sudah didesain agar mampu lebih mandiri dengan bantuan pemerintah pusat melalui otonomi dan kemandirian mengelola dana serta sumber dayanya sendiri. Saya berharap, tahun-tahun berikutnya, Lokalisasi Patok Besi juga masuk ke dalam radar penyebaran mahasiswa yang KKN.
KKN di Patok Besi adalah bentuk implementasi mahasiswa menghadirkan cahaya matahari pendidikan yang sudah dipelajarinya. KKN di Patok Besi adalah cara menghadirkan merdeka bukan kepada para tunasusila, pelacur, atau lonte, namun kepada sesama manusia. (*)
*) Penulis adalah jurnalis