Oleh: Dwi Yulia Armita *)
Menyoroti persoalan serius di tengah pesatnya digitalisasi sistem pembayaran. Di satu sisi, penggunaan pembayaran non-tunai seperti QRIS memang menawarkan kepraktisan, efisiensi, dan keamanan.
Namun di sisi lain, kebijakan menolak pembayaran tunai secara kaku justru berpotensi menciptakan ketimpangan sosial, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia.
Tidak semua orang memiliki akses, kemampuan, atau pemahaman terhadap teknologi digital. Lansia, khususnya, sering kali masih mengandalkan uang tunai dalam aktivitas sehari-hari.
BACA JUGA:Perpustakaan Digital: Sumber Pengetahuan Bagi Orang Tua dalam Mendukung Literasi Anak Muda
Ketika sebuah gerai menutup opsi pembayaran tunai tanpa memberikan solusi alternatif, hal tersebut dapat dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap hak konsumen dan nilai kemanusiaan.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa transformasi digital seharusnya bersifat inklusif, bukan eksklusif. Pelaku usaha perlu lebih bijak dalam menerapkan kebijakan, dengan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat yang beragam.
Menyediakan pilihan pembayaran tunai dan non-tunai secara berdampingan adalah langkah kompromi yang adil.
Pada akhirnya, kemajuan teknologi tidak seharusnya menghilangkan empati. Kejadian ini bukan sekadar soal metode pembayaran, tetapi tentang bagaimana masyarakat memperlakukan sesama—terutama mereka yang paling membutuhkan pengertian.
BACA JUGA:Korban Bencana Sumatera Viral Gunakan Gelondongan Kayu yang Terseret Banjir, Tak Bisa Dibiarkan
Saya sebagai mahasiswa Institut Teknologi Muhammadiyah Sumatera (ITMS) sekaligus pengamat media sosial bersikap kritis namun tetap adil dengan melihat dua sisi persoalan.
Di satu sisi, kebijakan pembayaran non-tunai merupakan bagian dari upaya modernisasi dan efisiensi layanan.
Namun di sisi lain, penolakan pembayaran tunai tanpa solusi alternatif menunjukkan kurangnya kepekaan sosial, terutama terhadap lansia dan masyarakat yang belum akrab dengan teknologi digital.
Kasus ini seharusnya menjadi evaluasi bagi pelaku usaha agar tidak menerapkan aturan secara kaku. Pelayanan publik dan usaha ritel idealnya mengedepankan inklusifitas, kemanusiaan, dan kenyamanan semua konsumen, bukan hanya mereka yang melek teknologi.
BACA JUGA:Penggunaan AI Berlebih Ancam Ketersediaan Air Bersih