Dulu perempuan Jawa harus dipingit dan tinggal di rumah.
BACA JUGA:Dijadikan Nama Jalan di Lubuk Linggau, Ini Kisah Perjuangan Pahlawan Jenderal Sudirman Melawan Penjajah
Karena bersekolah hingga 12 tahun, Kartini bisa membaca dan menulis bahasa Belanda.
Selama dipingit, dia menulis surat dengan teman-temannya dari Belanda. Salah satunya Rosa Abendanon.
RA Kartini juga banyak membaca buku, surat kabar, dan majalah Eropa. Tak heran, kemampuannya lebih mau dan bebas tidak seperti perempuan di kala itu.
Kartini memiliki pemikiran untuk memajukan perempuan di Jepara. Sebab perempuan pribumi saat itu tertinggal jauh.
BACA JUGA:Peringati Hari Pahlawan Nasional 2024, Inilah 7 Rekomendasi Film Biografi Pahlawan Indonesia
Selain tidak memiliki akses pendidikan, para perempuan juga tidak mendapatkan kebebasan dan kesetaraan.
Karena sedang dipingit, Kartini tidak bisa berbuat banyak. Namun surat-surat yang ditulisnya menjadi salah satu bentuk perjuangan.
Dia membuat gagasan baru mengenai emansipasi perempuan.
Kartini menceritakan penderitaan perempuan Jawa: harus dipingit, tidak memiliki kebebasan menuntut ilmu, dan tidak memiliki kebebasan berekspresi.
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Monumen Perjuangan Rakyat Kota Lubuk Linggau, Saksi Pahlawan dari Musi Ulu Rawas
RA Kartini Menikah dengan Bupati Rembang
Pada 1903, Kartini akhirnya menikah dengan Bupati Rembang bernama K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Setelah menikah gelar Raden Adjeng berganti menjadi Raden Ayu.
Setelah menikah dan pindah dari Jepara ke Rembang, Kartini tetap memperjuang kesetaraan perempuan dan menjadi guru.
BACA JUGA:Wajib Tahu, ini 3 Pahlawan dari Sumatera Selatan, Berikut Profil dan Kiprahnya
Suaminya, Bupati Rembang memberi dukungan kepada Kartini.
satu dukungannya dengan mendirikan sekolah perempuan di timur pintu gerbang perkantoran Rembang.
Kegiatan RA Kartini pun semakin berwarna dengan mengajar perempuan-perempuan Rembang.