Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (4)

Rabu 29-05-2024,08:00 WIB
Reporter : Endang Kusmadi
Editor : Endang Kusmadi

Catatan: Hendy UP *) 

E. Balai-balai Rumah Mang Barim

Pada akhir tahun 1970-an, penulis sebagai petugas lapangan di wilayah Marga Proatinlima & Tiang Pungpung Kepungut Kab. Musirawas SUMSEL, sering bergesah dengan para tetuo dusun. 

Menjadi pendengar santun dan pengorek kisah tentang sejarah bari Negeri Silampari. 

BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (3)

Menurut mereka, pada era tahun 1950-an, pasca pembukaan Kolonisasi Toegoemoeljo (1937-1940), monografi dan situasi Rompok Airketuan, tak lebih dari huma-perladangan yang kurang terpelihara. 

Hamparan huma itu didominasi aneka flora yang membentuk repuhan sebagai habitat kayu pelangas (Aporosa isabellina), durian (Durio zibethinus), jenis mangga-manggaan, kuweni- putaran (Mangifera campnospermoides) dan kayu-kayuan lainnya. 

Jika kemarau tiba, gugusan flora itu seperti dikelilingi permadani putih hamparan kembang ilalang. 

Rerompok itu dibelah oleh jalan inspeksi Irigasi Kelingi-Tugumulyo yang membentang dari Watervang hingga kawasan Kolonisasi. 

BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (2)

Dalam catatan disertasi KJ Pelzer (1945): "Pioneer Settlement in The Asiatic Tropics", kanal irigasi buatan Belanda tahun 1939-1941 itu, panjangnya baru 10-an kilometer dari Watervang hingga di Kampung F. Trikoyo. 

Dan sepanjang itulah awal jalan inspeksi irigasi, yang kelak diteruskan pada tahun 1953 hingga ke kawasan Sumberharta, setelah ada perlanjutan program transmigrasi era RI. 

Kala itu, di Airketuan, sudah ada gilingan padi sejak tahun 1941-an milik Machmud Amin, yang kini masih eksis sebagai Huller Laksana Djaja. 

Juga ada rumah Penjaga Pintu Air Irigasi yang dibangun Belanda tahun 1941, persis di seberang Dam Payung Sohe yang kini jadi "homestay" ruko dua lantai, agen telor dan jual-beli jagung. 

BACA JUGA:Karangketuan: Jejak Antropologis dan Kisah Heroiknya (1)

Kategori :