Bahkan ketika ada perjanjian antara Nabi dengan musuh, dan musuh terlihat gerak-gerik akan mengkhianati perjanjian tersebut, Allah melarang Nabi untuk menyerang sebelum adanya tindakan jelas yang berimplikasi pada pembatalan perjanjian.
Hal ini disebutkan dalam surat al-Anfal ayat 58:
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَىٰ سَوَاءٍ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
BACA JUGA:Pemilu, KPU dan Bawaslu Musi Rawas Dipantau CCTV, Konek ke Polres dan Polda
Artinya, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (QS al-Anfal : 58).
Kemudian yang terakhir adalah sikap politik Nabi saw berasaskan keadilan, baik kepada kaum muslimin maupun non-Muslim.
Misalnya adalah suatu hari ketika Nabi Muhammad saw sedang bertamu di rumah Abu Bakar, lantas ada yang mengetuk pintunya.
Ternyata orang tersebut beragama Nasrani dan ia bermaksud mencari Nabi saw sebab ia dizalimi oleh Abu Jahal bin Hisyam yang telah mengambil hartanya.
BACA JUGA:Atlet NPCI Lubuklinggau Raih 92 Medali, Pj Wali Kota Janjikan Bonus
Nabi Muhammad SAW pun segera ke rumah Abu Jahal dan meminta dirinya untuk mengembalikan harta si Nasrani tersebut. Abu Jahal pun mengembalikannya.
Demikian kiranya penjelasan mengenai praktik politik ala Nabi Muhammad saw yang tujuannya adalah kemaslahatan umat, menghindarkan masyarakat dari kerugian, jauh dari praktik gratifikasi, bersifat adil, dan anti terhadap sikap pengkhianatan baik kepada kawan maupun lawan. Semoga kita semua dapat meneladani Nabi Muhammad SAW.(*)